Laman

Kamis, 03 Januari 2013

Anak Perempuan Ayah Part 1


Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Aku baru saja selesai memuatkan Ayah secangkir kopi paginya. Seperti biasa Ayah selalu membaca koran di ruang tamu. Ibuku sedang sibuk meracik menu-menu penuh cinta untuk kebahagiaan hari-hariku juga Ayah. Tidak banyak bicara, Ibu hanya sesekali melantangkan suaranya sekedar memintaku untuk mengambilkan sesuatu untuknya.

Ibuku yang setiap pagi tidak pernah mengeluh meski peluhnya selalu menetes karena asap-asap masakan di dapur. rambutnya tertutup kain jilbab yang sudah tidak baru lagi. Pakaiannya seadanya, tapi menutp auratnya. Sebagai wanita dewasa, Ibuku selalu memberi contoh yang baik untukku. Ibu tidak pernah mau anak gadisnya sembarangan berpakaian dan tidak sesuai dengan norma-norma.

Ayahku hanyalah seorang tukang sapu di sekolah madrasah. Kalau pagi ini dia membaca koran adalah karena Ayah rajin mengumpulkan koran bekas. Yang kemarin untuk hari ini. Begitu setiap hari. Setiap pagi Ayah membacanya dengan penuh saksama. Aku senang sekali, Ayahku up to date.hehe

Sampai di pagi ini, hari libur dan kemarin baru saja Ayah mengambilkan raport-ku di sekolah. Alhamdulillah, nilaiku tidak mengecewakan Ibu dan Ayah. Saat aku menyajikan kopi untuknya, Ayah berkata sesuatu.

"Nduk, kata Pak Guru di sekolah kamu punya pacar ya?" Tanya Ayah. Pertanyaan Ayah bagaikan pisau menusukku tanpa ragu. Ada perasaan bersalah ada perasaan malu karena aku memang belum diijinkan pacaran oleh Ayah. Apalagi aku SMA dan kalau bisa aku tidak usah pacaran tapi langsung Ijab.

Aku terdiam, tersenyum. Sepertinya ayah memang tahu bahasa tubuhku.

"Ayah sih, nggak tahu bener atau nggak. Tapi kamu mesti ati-ati lho. Nggak fokus belajar bisa ketinggalan lho. Kamu mikirin pacar yang lain semangat mikirin cita-cita gimana kamu? belum nanti kalau kamu patah hati? Kamu kan ndak pernah tahu temanmu itu baik atau tidak, temenmu itu serius atau tidak. Nanti kalo nanti kamu patah hati gimana?"

Aku menunduk mendengar ucapan Ayah. Seperti tertampar merah pipiku, bersemu juga. Aku tidak pernah bermaksud sebegitu jauh, atau aku memang tidak pernah berpikir sebegitu jauh. Aku menunduk malu dengan Ayah.

"Nggak kok Yah, Luna nggak punya pacar."

Saat itu juga aku yang malah ingin menampar diriku sendiri. Kenapa berbohong? membohongi Ayah sendiri? durhaka kamu lun. Pikiranku berlawanan dengan mulutku.

"Ayooo, sejak kapan anak perempuan Ayah yang cantik ini pinter bohong, lha wong Ayahnya Zaky juga dipanggil. Ngobrol bertiga sama Ayah sama pak Guru."

Tidak! Aku makin terpojok. Kulihat senyuman Ayah di ujung bibirnya. Aku dapat menyimpulkan Ayah merasa tergelitik dengan sikap anaknya ini.

"Ayah...." kataku pelan, pasrah.

"Iya, yang penting kamu tahu batasannya, jilbab kamu itu perisainya. Jangan sampai hancur bentengmu. Jangan lupa sama sekolahmu." Kata Ayah bijaksana. Seperti ada alairan air menganak sungai dari hati ayah. Sejuk. Aku mengangguk kemudian menuju kamarku.

***
"Luna!"

Aku menoleh ke belakang. Suara teriak itu sudah tidak asing di telingaku. Seketika jantungku seperti berdegup duakali lebih cepat dari biasanya. Aliran darahku berdesir tidak karuan. Ada yang buatku gugup ketika seseorang itu datang. Zaky. Dia....emmm pacarku.

"Hey!" Aku menjawab sekenanya, Jilbabku berkibar sedikit menutup wajahku yang memerah.

"Baru dateng ya? teman-teman udah nungguin lama lho!" Kata Zaky tersenyum manis sekali. Aku tidak berani menatapnya. Hanya memandangnya sekilas.

"Engghh.. aku kan nggak latihan, aku cuma mau lihat-lihat doang!" Jawabku cepat tanpa menoleh ke arah Zaky. Aku takut pingsan.

"Ya udah ayok!" Aku mengikuti langkah Zaky ke pendopo sekolah.

Hari ini gladi bersih untuk acara ulang tahun sekolah. Aku dan Zaky sudah kelas duabelas, dan ini berarti tahun terakhir aku di sekolah. Nggak terasa aku dan Zaky sudah emmm... pacaran sejak setahun lalu. Dan aku masih bisa menjaga diri dari hal-hal yang dibawa nafsu. Meskipun aku terkadang takut pertahananku runtuh. Tapi Zaky memang anak yang baik. Dia juga mengerti apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan. Kami tidak pernah saling menatap, paling hanya melihat sekilas. Dan aku hapal sekali matanya bening berwarna cokelat. Bulu matanya juga indah. Oh tidak!

Hampir setiap Minggu Zaky main ke rumah. Dia selalu punya alasan yang membuatku susah menolak. Seperti misalnya mengerjakan tugas, minta di ajarin pelajaran sekolah, mengajari aku pelajaran sekolah, nganterin buku dan sebagainya. Memang aneh Zaky, hehe tiap Zaky main ke rumah aku selalu membuka pintu ruang tamu lebar-lebar takut ada fitnah dari tetangga-tetangga. Oh ya ampun aku berburuk sangka. Maksdunya ya kita waspada aja sih. Dan karena Ayah tidak menyukai ini.

"Zaky, ada jus jambu nak. diminum ya!" Kata Ibu ramah.
"Iya Bu, makasih bu." Zaky mngangguk santun.
***
Ujian Sekolah semakin dekat. aku terus berjuang untuk prestasiku. Aku tidak mau mengecewakan Ayah Ibu. Dan Zaky, semakin menjauh. Aku tidak tahu kenapa tapi intensitas dia menemuiku, mengabariku semakin berkurang. Memang terasa agak berat, biasanya Zaky selalu belajar bersamaku, mengerjakan tuigas bersamaku. Tapi akhir-akhir ini dia sering dengan teman-temannya sendiri. Mengelompok dengan temannya sendiri. Yah, tidak apa-apa. Itu haknya. Dan aku sepi.

Tapi aku tidak mau terjebak dalam lamunan dan kesepianku karena merindukan hadir Zaky. Aku terus belajar. Aku tidak seperti teman-teman yang lain yang bisa les privat dengan guru les mereka. Jadi mereka bisa ogah-ogahan karena bisa mengejar ketrtinggalan mereka. Tapi yang kulihat dari teman-temanku adalah semangat mereka yang luar biasa menyambut UN. Aku lengah sedikit saja mungkin akan terus jatuh kebawah dan sangat tertatih untuk naik lagi.

"Zaky!" aku memanggilnya ragu.
"Yaa.." Jawab Zaky ogah-ogahan.
"Sudah belajar mengenai hukum-hukum fisika belum?" tanyaku sambil tersenyum mencoba membuang semua kebekuan antara aku dan Zaky beberapa minggu ini.
"Sudah, tapi belum paham-paham. Capek!" Jawab Zaky. Aku sedikit tersentak. Baru sekali ini kudengar Zaky mengeluh. Dan memang setelah itu aku jadi sering melihat Zaky mengeluhkan materi pelajarn yang rumit. Saat istirahat, saat semua teman-teman belajar dia malah berusaha tidur. Zaky, come on! Kamu harus kejar semuanya! batinku. Dan percuma, kulihat setiap harinya Zaky begitu. Tapi ada saatnya sih dia berusaha bertanya dengan teman-teman yang lebih tahu tentang pelajaran yang kurang dia pahami. Tapi dia tidak menanyaiku.

"Zaky, kok kita nggak pernah belajar bareng ya?" tanyaku sambil terus menatap buku.
"Takut dimarahin Ayahmu." Jawab Zaky ketus. Aku terdiam dan menengoknya sebentar.
"Sejak kapan kamu takut sama Ayah? belajar bareng kan nggak harus di rumah? kita kan bisa belajar di sekolah?" Jawabku mencoba tetap tenang.
"Kamu sibuk belajar, takut ganggu kamu. Aku kan nggak bisaan, takutnya kamu capek ngajarin aku. Buang-buang waktu." Zaky masih ketus.
"Ah, bilang aja nggak mau belajar sama aku. Yaudah nggak apa-apa sih, yang penting kamu belajar. Jangan males lah. udah mau ujian ya! semangat!"
Zaky hanya diam. Aku coba menengoknya. Ya ampun! Zaky merem.
"Zaky......!!!!" teriakku kesal. Zaky cuma pindah posisi merem lagi. Pasrah deh.
"Aku ngantuk, belajar sampe malem.." Gerutu Zaky.
"Mestinya kamu nggak usah sampe malem dong belajarnya. Dikit-dikit kan lama-lama bisa."

***
Hari paling mendebarkan bagi seluruh umat SMA kelas dua belas tiba. Aku deg-degan. Zaky deg-degan. Semua teman-teman dan Bapak/Ibu guru deg-degan. Kulihat Ayah juga harap-harap cemas diantara tempat duduk orang tua murid di depan pendopo sana. Ingin sekali mendekap Ayah. Meyakinkan kalau aku bisa menjadi seorang Anak perempuan Ayah yang Ayah banggakan. Aku bisa meskipun sedikit tidak yakin dan gugup.

Sebelum acara pengumuman, Bapak Kepala sekolah ingin bercerita tentang prestasi-prestasi yang telah diraih SMA. Alhamdulillah, namaku beberapa kali disebut. Zaky duduk di kursi ujung di tengah-tangah barisan anak laki-laki. Dia mengirim pesan lewat ponsel ke aku. Dia ceritakan kegugupannya hari ini, do'anya hari ini, persiapannya menerima kenyataan hari ini, dan tentang kepasrahan kepada takdir Sang Pencipta.

Ayahku masih terus memandangiku dari kursinya saat aku maju berpidato bahasa Inggris. Tidak henti-henti aku tersenyum. Saat berpidato seperti ini, aku selalu ingat pesan Ayah. Untuk selalu terlihat ramah dan tidak gugup. Ayah selalu mengajariku tentang cara berpidato yang baik. Karena semua orang akan memperhatikanku. Aku ingat-ingat pesan Ayah agar tidak ragu memainkan tangan secara natural dan jangan kaku. Semua itu namanya Gesture. Dan alhamdulillah, aku bisa dengan lancar berpidato bahasa inggris di depan. Semuanya bertepuk tangan dan Ayah tersenyum di sana. Terimakasih, Ayah! Batinku.

"Dan yang menjadi peringkat pertama adalah..." Suara Pak Danar menggema. seperti ada kekuatan terselip di sana. Aku menunduk, berdoa, menggenggam tangan temanku yang juga sedang menunduk berdoa. Ayah, Ibu doakan aku juga, batinku.

"Aluna Zahra Al Fatih di peringkat pertama!" Suara Pak Danar seperti kembang api meletup-letup indah. Aku bersujud syukur. subhanallah walhamdulillah wala illa haillallah allahu akbar. Terimakasih Allah, terimakasih. Aku tak kuasa menitikkan air mata. Aku ingat kata Ayah tentang sabda Nabi "Kunfariyan wala takun fakisan" jadilah kau manusia yang seperti padi jangan seperti pakis.  Aku hapal maksud hadist itu. Ilmu padi semakin tua/berisi semakin merunduk (rendah hati) sedangkan pakis semaikn tua semakin megar mendongak ke atas (tinggi hati). Aku selalu ingat itu, Ayah! batinku.

"Aku bangga sama kamu, dek!" Zaky mengirim pesan lagi. Zaky, aku juga bangga padamu! batinku sambil tersenyum ke arahnya. Senyum haru. Meskipun dia tidak masuk tiga besar. Tapi semangat belajarnya akhir-akhir ini berusaha melawan rasa malasnya, merubah cara belajarnya membuat aku bangga. Dia juga menjagaku. Selama kita ber... emmmm pacaran, kita belum pernah bersentuhan. Semoga kami selalu dalam lindungan-Mu ya Allah.

Dan aku, anak perempuan Ayah. Aku bisa buktikan ke Ayah, bahwa aku bisa mempertahankan prestasiku. Meskipun aku punya..emmm punya pacar. Hya, kalo kamu mau kamu pasti bisa!

Wassalamu'alaikum wr.wb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cool Dark Blue Pointer Glitter